Wednesday 24 January 2018

Hidup itu wang sinawang

Itu adalah judul WA suamiku pagi ini. Suami yang selalu mengingatkan dengan sabar.

Apa yang diposting di media sosial, apa yang dilihat oleh orang kebanyakan tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya. Itu semua kan pencitraan. Dan disaat banyak orang sibuk mencitrakan diri, saya memilih sibuk menikmati berkah Illahi. 

Sering saya merasa sedih, maklum, saya manusia biasa. Lalu saya berusaha ingat, La Tahzan... Innallaha ma ana... Innallaha ma ana... Innallaha ma ana... Lalu berdzikir banyak-banyak sambil nangis..
Apa yang membuat saya sedih? #curhat mode on
Saya merasa sendirian. Jauh dari anak. Jauh dari suami. Jauh dari keluarga. Tidak punya banyak teman di sini. Tapi alhamdulillah, kuantitas tidak begitu masalah karena saya bersyukur sekali punya satu sahabat yang selalu menjadi pengingat, pendamping, sekaligus perawat saat saya (sering) sakit. Hanum Putri Hapsari. (Cepet nikah ya nduuukk...). Merasa sendiri adalah kesedihan terbesar saya. Rasa depresi ini membuat saya merasa menjadi bukan diri saya. Saya tidak lagi berani berpendapat. Saya jarang ngobrol. Saya jarang bersosialisasi. Tapi alhamdulillah saya jadi lebih kalem. (ahey... tapi baper... wakakakak...)

Kembali lagi, hidup itu wang sinawang. Ada sepasang suami istri  yang selalu bersama, lulus PhD bersama, traveling bersama. Gilee.. Keren banget kan. It's like life goal generasi jaman now, probably. Tapi dibalik kebahagiaan yang mereka posting, si suami masih honorer, si istri galau belum punya pekerjaan, rumah masih mencari kontrakan, bahkan belum dikaruniai buah hati. 

Ada keluarga yang terlihat bahagia, sang suami yang sedang PhD membawa serta anak dan istrinya, sibuk membuat anak agar dapat tunjangan ratu setiap bulannya, tapi dibalik itu mereka kelimpungan dengan kondisi ekonominya, sampai berhutang pada keluarga. 

Ada juga teman PhD yang terlihat baik-baik saja. Anak istri dibawa bersama. Hidup bergantung pada kiriman dari negara. Namun PhD tidak semudah yang direncana. Empat tahun lebih sudah terlewat tanpa terasa. Beban malu pada keluarga, kolega dan masyarakat yang membiayai hidupnya di Eropa. 

Ada juga teman PhD yang terlihat bahagia membawa serta suami dan anaknya. Namun dibalik itu, ada suami yang selalu berusaha mencari kerja sementara, sambil mencari peluang karir di tanah air ketika waktunya kembali nanti sementara dia sendiri berjuang melawan egonya. Sang istri pun sibuk menutupi ketimpangan dengan posting foto bahagia. 

Alhamdulillah.. saya sudah takut posting-posting di media sosial untuk semua berkah yang sudah Allah beri. Kasihan media sosial saya kalau semua berkah Allah saya posting. Gak akan kuat. Dibalik kesedihan terbesar saya, alhamdulillah Allah sudah menyiapkan, menata dan menguatkan perjalanan hidup saya setelah PhD nanti. Saya harus banyak bersyukur untuk semua ini. Allah sudah memberikan saya dan suami pekerjaan tetap. Allah sudah menyiapkan rumah tanpa kontrak. Tidak hanya kebutuhan primer, bahkan Allah sudah menyiapkan kebutuhan-kebutuhan sekunder, tersier kami. Alhamdulillah... Innallaha ma ana...

Allah juga sudah memberikan kesempatan pada saya untuk keliling tiga benua, makan di restoran berkelas, tidak hanya yang bagus, mahal dan mungkin sulit diraih oleh kebanyakan orang, saya menikmatinya tanpa susah dan tanpa bayar. Mulai dari restoran dengan value dan jiwa yang sustainable, menjunjung tinggi traditional gourmet a la France, bahkan hingga kelas Michellin star di banyak tempat. Tidak banyak orang yang punya kesempatan seperti ini.

Itulah hidup yang wang sinawang. Bersyukur saja dengan apa yang Allah beri. Allah itu maha adil.